BedahBerita.Co.Id, Hari ini 1 November 2019 sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bengkulu memasukan sejumlah laporan kasus yang tak jelas penyelesaiannya dan indikasi Korupsi lainnya yang terjadi di Bengkulu ke Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi Jakarta. Kedatangan para aktivis ini setelah sebelumnya melakukan aksi di Kejagung. Mereka bergabung dalam Front Pembela Rakyat (FPR) Bengkulu.
Dari 13 item laporan mereka, ada tiga item kasus dan indikasi Korupsi yang terjadi di Kepahiang.
Menurut Rustam Ependi salah satu orator dalam aksi damai di KPK ketiga item ini merupakan kasus yang santer di kalangan masyarakat namun tak di gubris sama sekali di Kepahiang dan juga di Bengkulu, Kasus pertama sudah pada tahap penyidikan di Kejari Kepahiang, yaitu Kasus pengadaan Lahan kantor Camat Tebat Karai dengan nilai 1.125.000.000. Dengan ukuran tanah lebih kurang 8.830 M2 dengan harga per M2 nya sebesar Rp 127. 406. lokasi di Desa Taba Saling Kecamatan Tebat Karai dengan PBB pada masa itu hanya 10.000. Menariknya pembelian lahan untuk kantor Camat Tebat Karai ini berada dalam satu SK Bupati No. 590-675 tahun 2015 dengan pembelian lahan Balai Benih Tanaman Pangan seluas 7.500 M2 yang berada di Kecamatan Kepahiang, yang merupakan lokasi wilayah pusat kota yaitu Desa Kutorejo dengan nilai jual jauh di bawah harga tanah lahan kantor Camat Tebat Karai yang berada di pinggiran kota. Untuk Lahan yang ada di Desa kutorejo tersebut hanya di hargai Rp 57.333 per M2 kurang dari setengah harga permeter tanah lahan Kantor Camat.
“jika kita lihat dari sudut pandang itu saja, secara nyata ada ketimpangan harga dimana harga lahan yang berada tidak jauh dari pusat perkantoran dan kota Kepahiang jauh lebih murah di banding harga tanah yang berada di pinggiran kota, selain itu info yang di dapat dari masyarakat sekitar tanah tersebut sempat dijual kepada warga oleh pemiliknya seharga 250 juta, namun tak lama berselang tanah tersebut di beli kembali dan dijual ke Pemkab Kepahiang seharga 1,125 Milyar, disini kelihatan jelas apakah Pemda Kepahiang yang mengutus pembeli lahan yang bodoh atau pemilik tanah yang pintar mencari kesempatan, ini indikasi pembobolan kas daerah secara sistimatis dan terlindung, kita minta ini diusut tuntas, dan kita sudah meminta pihak Kejati Bengkulu untuk menindaklanjuti kasus ini sebatas mana, namun belum juga ada kejelasannya, hingga kita membawa ini Ke Kejagung dan KPK,” Papar Rustam.
Lanjut Rustam Kasus Kedua adalah, Dana DID Rp. 9,9 Milyar namun yang di laporkan hanya 3,3 M. Laporan ini berdasarkan pertanyaan yang diajukan oleh fraksi Golkar dan juga pembaca Pemandangan fraksi Hendri di media beberapa waktu yang lalu, dimana DID yang diterima Bupati kabarnya sebesar 9,9 M namun yang disampaikan ke DPRD hanya 3.3 M. “Menurut Hendri didalam pemberitaan DID ini Ada apa lagi karena lewat statement Bupati di beberapa media dan juga yang dikabarkan DID yang diterima sebesar 9.9 M sedangkan yang di sampaikan ke DPRD lewat struktur pendapatan ABPD 2020 hanya 3.3 M. Hal ini menjadi pertanyaan di DPRD benar kah dana DID itu ada atau tidak, apakah salah ketik, atau salah pemberitaan sehingga 9.9 M tersebut tidak tergambar jelas. Karena dana tersebut sangat di butuhkan untuk mengimbangi defisit anggaran yang lumayan besar dan harus di adakan pemangkasan anggaran di setiap OPD baik kegiatan fisik dan non fisik, ini bisa jadi gejolak yang berbahaya jika tidak jelas ujarĀ Hendri di berita beberapa waktu yang lalu, walaupun kemudian ada jawaban Bupati, dan pernyataan DPRD bahwa dana tersebut sudah dimasukan ke KUA PPAS, kami tetap meminta pihak KPK mengawasinya,” papar Rustam.
Item Ketiga ini adalah indikasi Korupsi yang dilakukan secara terus menerus dalam beberapa tahun terakhir yaitu, Dugaan Permintaan Fee Oleh Beberapa Anggota DPRD Kabupaten Kepahiang Untuk Menyetujui Dan Membuat Perda Peminjaman Dana Ke PT. SMI, Serta Dana Ketok Palu Pada Setiap Anggaran Baru APBD Dan APBDP. Bahkan ada indikasi OTT yang dilakukan oleh Oknum Polisi Kepahiang terkait pembahasan dan pengesahan APBD dan Perda Pinjaman ke PT. SMI, namun dana yang di didapat dari OTT tersebut senyap alias hilang tanpa bekas.
“Untuk indikasi Fee Oleh Beberapa Anggota DPRD Kabupaten Kepahiang Untuk Menyetujui Dan Membuat Perda Peminjaman Dana Ke PT. SMI, Serta Dana Ketok Palu Pada Setiap Anggaran Baru APBD Dan APBDP, kabarnya sudah ada laporan masuk ke KPK sebelum aksi yang kita lakukan ini, dan pihak KPK meminta kita untuk melengkapi bukti atas laporan kita, dan kita sudah menyiapkan ini termasuk oknum yang bisa di panggil pihak KPK yang mengetahui indikasi masalah fee dan Indikasi OTT senyap tersebut,” ujar Rustam.
Untuk indikasi Fee tersebut disinyalir ada dana 1,3 M yang terindikasi dibagi bagikan pada oknum anggota DPRD Kepahiang sebagai fee ketok palu APBD 2018.
Sementara Indikasi adanya OTT ini ada dua oknum ASN di Kepahiang yang malam kejadian sudah di BAP hingga subuh, dan 2 orang ini tidak akan bisa berkelit jika di mintai Keterangan oleh KPK.
“Banyak saksi yang terindikasi kasus OTT senyap ini yang bisa dimintai Keterangan, sampai mobil yang di gunakan untuk membawa uang sekitar 650 juta tersebut kabarnya milik salah satu oknum petinggi Kepahiang,” ujar Rustam.
Rustam Ependi didampingi Ishak Burmansyah juga menjelaskan bahwa mereka diterima oleh Anggi Fitriani Mamonto staf humas KPK. Dalam pertemuan itu perwakilan FPR juga menyerahkan berkas terkait kasus-kasus korupsi dan mengadukan oknum jaksa nakal di Kejati dan Kejari se-Bengkulu.
āHumas KPK menyampaikan akan memproses laporan FPR dan dalam waktu 30 hari kerja kedepan dan akan menghubungi kembali pihak FPR untuk dimintai keterangan dan kelengkap laporan, sementara Senin ini kita dimintai melengkapi bukti dan nama nama yang terkait setiap indikasi kasus yang kita laporkan.” tutup Rustam.(bcp)